Tradisi sadranan ini dilakukan oleh Panembahan Larangan sejak abad 14 Masehi silam. Dan hingga saat ini masih dilestarikan warga kampung tersebut.
Sugino tokoh adat yang juga sebagai Kepala Dusun Gembeong menuturkan, tradisi sadranan dilakukan turun- temurun. "Sadranan digelar setiap Senin Wage atau Kamis Wage," katanya.
Pada hari itu, Kampun Gembrong yanga sunyi mendadak riuh. Warga berpakaian adat Jawa sejak pagi sudah berkumpul memadati makam tua ini.
Warga tampak kompak 'semedulur', ada yang membawa tumpeng beserta lauk pauknya. Pokoknya pepek renek. Warga juga ada yang membawa jajanan kampung, aneka minuman seperti teh, kopi, dan makam minum lainnya.
Seperti biasanya, warga juga menyebelih kambing ditempat perhelatan. Kambing kemudian dimasak atau 'dibecek' (gulai) sebagai lauk utama pada acara makan bersama.
Warga juga ada yang membawa ayam untuk disembelih yang kemudian diolah sebagai tambahan lauk pauk.
Hari itu waega juga melamukan bersih - bersih makam termasuk membenah pagar yang usang dinakan usia.
Setelah semua selesai dikerjakan, kemudian warga berkumpul dilakukan doa bersama dipimpin tokoh agama setempat. Dilanjutkan doa dan makam.
Menurut Sekertaris Desa Edi Santosa doa dimaksudkan untuk memohon kepada Tuhan agar arwah sesepuh Ki Demang, arwah orang tua dan saudara yang telah meninggal dunia diberikan ampunan.
"Tujuannya semoga arwahnya ditempatkan di surga. Sedangkan sanak famili yang masih hidup diberikan kesehatan dan kemudahan mencari rezeki," katanya.
Selain itu masyarakat juga diingatkan agar senantiasa menjalin silaturahmi antar saudara, famili dan tetangga. Sehingga paseduluran tidak usang dimakan usia dan zaman.
Guyub rukun bebarengan atau gotong royong harus terus dipupuk sepanjang masa. "Kebiasaan inilah yang membuat langgeng, Kenapa tradisi ini tetap lestari hingga saat ini di Makam Mbah Demang di Kampung Jembrong," imbuh Edi Santosa. (*)