MEMOTONEWS - Pelantikan Presiden Prabowo Subiyanto Minggu (20/10/2024) kemarin membawa harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Prabowo menekankan pentingnya integritas dan etika dalam pemerintahan.
Ia menegaskan bahwa setiap pejabat, terutama di posisi tertinggi, harus menjadi teladan dalam menjaga kebersihan dan transparansi. Presiden juga mengingatkan bahwa para pemimpin harus mengabdi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun kerabat.
Namun, di tengah semangat pembaruan Presiden Prabowo, peristiwa kontroversial terjadi pada 14 Oktober 2024, seminggu sebelum pelantikan Presiden terpilih. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melantik Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang memicu PHK massal terhadap 89 anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) dengan masa jabatan hingga 2027 (Menurut Kepres Nomor 31/M Tahun 2022).
Kejadian ini menimbulkan diskusi panas tentang etika dan transparansi, yang dianggap bertentangan dengan janji Presiden untuk menegakkan integritas dan kepentingan rakyat dalam pemerintahannya.
Ada tiga hal mendasar dalam kontroversi terkait pelantikan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), sebagai berikut: Pembatalan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31/M Tahun 2022 dan penggantian dengan Keppres Nomor 69 Tahun 2024 masih menjadi perdebatan di kalangan ahli tata negara.
Selain itu, kontroversi pelantikan Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) menimbulkan masalah hukum terkait penunjukan drg. Arianti Anaya sebagai Ketua KKI, meskipun ia sudah pensiun sejak 1 Oktober 2024 dan terlibat dalam panitia seleksi.
Penunjukan Sundoyo sebagai Ketua Majelis Disiplin Profesi juga dipertanyakan karena ia masih aktif sebagai Staf Ahli Hukum Kemenkes dan juga anggota panitia seleksi, menimbulkan dugaan konflik kepentingan.
Lebih lanjut, penunjukan ketua dilakukan tanpa pemilihan di antara 9 anggota KKI lainnya, yang dianggap mengintervensi independensi Lembaga Non Struktural (LNS) yang seharusnya bekerja sesuai dengan undang-undang.
Permasalahan transparansi dalam seleksi Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Kolegium, dan Majelis Disiplin Profesi semakin mencuat akibat dugaan pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Proses seleksi ini dinilai tidak transparan dan kurang akuntabel, dengan hasil seleksi yang seharusnya diumumkan pada 30 September 2024 tidak pernah dipublikasikan.
Sebaliknya, Menteri Kesehatan justru mengirim surat kepada Presiden (nomor KM.04.01/Menkes/690/2024) untuk menetapkan hasil seleksi tanpa mengikuti prosedur transparansi yang diharuskan.
Langkah ini dianggap melanggar Peraturan Menteri Kesehatan (PMK No. 12/2024) yang mengharuskan pengumuman terbuka dan partisipasi masyarakat. Kondisi ini memicu desakan reformasi agar proses seleksi lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Ombudsman RI juga diminta untuk menyelidiki dugaan maladministrasi, termasuk pemberhentian sepihak anggota KTKI tanpa pemberitahuan resmi. "Seleksi kemarin hanya formalitas belaka, tidak profesional, dan hanya demi kepentingan segelintir orang. Bagaimana mungkin kompeten jika wawancara hanya diberi waktu 3 menit, dan jawaban peserta pun dipotong oleh panitia seleksi," tegas Tim Adhoc KTKI.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terhadap anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) memicu persoalan serius terkait Hak Asasi Manusia.
Para anggota KTKI, yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti ASN, tenaga kesehatan, dan profesional dari berbagai daerah, merasa diberhentikan secara sepihak tanpa proses yang transparan atau mitigasi yang layak.
Keputusan PHK ini dianggap melanggar masa jabatan yang diatur dalam Keppres Nomor 31/M Tahun 2022, yang memberikan masa jabatan selama lima tahun bagi mereka.
Para anggota yang diberhentikan, seperti Tri Moedji, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Instalasi Rekam Medis di RSUD, harus beralih profesi menjadi tukang ojek online demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai seorang single parent dan tulang punggung keluarga, Tri Moedji kini harus berjuang untuk menafkahi dirinya dan kakaknya yang menderita komplikasi stroke dan hipertensi.
Nasib serupa dialami oleh Akhsin Munawar, yang memilih pensiun dini setelah mendapat kepastian masa jabatan lima tahun dari Keppres, dan menggunakan Keppres tersebut untuk mengajukan cicilan rumah.
Kini, setelah diberhentikan secara tiba-tiba, ia menghadapi ketidakpastian mengenai bagaimana ia akan memenuhi kewajibannya. Para anggota KTKI merasa bahwa mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Kementerian Kesehatan.
Acep Effendi, salah satu korban PHK, menyoroti bahwa kebijakan Menkes yang awalnya fokus pada melindungi tenaga kesehatan justru berbalik, dengan KTKI sebagai lembaga non-struktural independen turut menjadi korban perundungan.
Kritik juga dilontarkan terkait respons arogansi pejabat Kemenkes yang menganggap PHK ini sebagai "resiko jabatan," padahal para anggota KTKI diangkat secara sah melalui Keppres dan memiliki hak yang jelas selama masa jabatan mereka.
Chandi Lobing, anggota KTKI dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, juga menyoroti bahwa bahkan korporasi memiliki mitigasi yang lebih baik dalam menangani PHK massal, sementara Kementerian Kesehatan justru melakukan tindakan ini secara sembrono tanpa mitigasi yang memadai.
Para anggota berharap bahwa Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka dapat memberikan perhatian dan solusi untuk menyelesaikan masalah ini, serta menjaga marwah Lembaga Non Struktural (LNS) yang seharusnya independen dari campur tangan pemerintah.
Mereka meminta agar pemerintah mengembalikan keadilan dan melindungi hak-hak mereka sebagai pejabat negara yang telah diangkat melalui Keppres dan telah menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab selama masa jabatan mereka.
Diharapkan dengan semangat pemerintahan baru, ketiga masalah tersebut, mulai dari Permasalahan hukum, ketidaktransparanan dalam seleksi KKI (dugaan konflik kepentingan dalam penunjukan pejabat), hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal anggota KTKI—dapat segera dicarikan jalan keluarnya oleh Kementerian Kesehatan dan jajarannya.
Pemerintah diharapkan dapat menghadirkan solusi yang adil dan transparan, sejalan dengan nilai-nilai integritas dan kepentingan rakyat yang ditekankan oleh Presiden Prabowo Subianto, demi menjaga hak-hak para tenaga kesehatan dan profesional yang telah berkontribusi bagi negara serta menjaga marwah Lembaga Non Struktural (LNS) yang independen. (MH/BAE)