Sejumlah Komisioner KTKI Perjuangan mendatangi Ombusman Republik Indonesia. (Foto: Dok KTKI Perjuangan)
MEMOTONEWS - Buntut PHK massal terhadap Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), sejumlah Komisioner KTKI Perjuangan mendatangi Ombusman Republik Indonesia untuk melaporkan dugaan mal-administrasi proses dikeluarkannya Kepres 69/M/2024 di Kementerian Sekretaris Negara.
Konsideran Kepres No 69/M/2024 tertulis bahwa Menteri Kesehatan melalui surat nomor KM.O4.O1/Menkes/690/2024 tertanggal 30 september 2024 menyampaikan hasil seleksi calon Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia Periode Tahun 2024-2028 dan mengusulkan pemberhentian Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Masing-Masing Tenaga Kesehatan untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
“Dengan pertimbangkan azas keterbukaan, Kepres ini berpotensi mal-adaministrasi, karenanya kami, KTKI Perjuangan meminta klarifikasi keluarnya KEPRES 69/M/2024 di Kementerian Sekretaris Negara melalui Ombusma,” tegas Rahmaniwati Komisioner KTKI Perjuangan pada awak media, Senin malam (4/11/2024)
Tri Moedji Hartiningsi menegaskan bahwa sudah sepatutnya Kemensesneg RI menelaah dan mempertimbangkan apakah surat Menkes KM.04.01/Menkes/690/2024 tertanggal 30 September 2024, layak menjadi legal standing untuk akhirnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
“Apakah sesuai jumlah yang diusulkan sebanyak 2 kali jumlah kebutuhan,” tanya Tri Moedji. Sebab jika mengacu PMK Nomor 12/2024 Pasal 13, seharusnya, Menteri mengusulkan Calon Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia sebanyak 2 kali jumlah kebutuhan.
Sementara Akhsin Munawar, komisioner KTKI Perjuangan yang sengaja datang dari Jambi menjelaskan pada Ombusman bahwa tiga orang unsur pemerintah yang dipilih ternyata memiliki catatan terhadap batas usia Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Penunjukan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) pada Kepres No 69/M/2024 yang bersangkutan telah pensiun per 1 Oktober 2024, sehingga sepatutnya tidak bisa lagi mewakili unsur pemerintah. Sedangkan dua orang lainnya, utusan pemerintah berusia 62 tahun dan 63 tahun. Padahal masa kerja KKI adalah 4 (empat) tahun.
“Jika mengacu peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil untuk pengangkatan Pimpinan KKI Pasal 41, maka sesungguhnya penunjukan ketiga unsur pemerintah patut diduga juga mal-administrasi oleh Kemensesneg,” tandas Muhammad Jufri Sade Komisioner KTKI pensiunan Kemenkes.
Bukan hanya Ketua KKI saja yang ternyata sudah usia pensiun tapi malah ditunjuk sebagai unsur pemerintah, namun kedua lainnya akan memasuki umur pensiun 65 tahun karena masa kerja Kepres No 69/M/2024 selama empat tahun.
“Saya dulu direkomendasikan harus pensiun dini walau bukan unsur pemerintah karena pertimbangan usia pensiun saat menjabat di KTKI. Apalagi Anggota KKI yang mewakili Unsur Pemerintah, etikanya harus melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) jika mereka berdua memasuki usia 65 tahun.” tutur Acep Effendi, Komisioner KTKI yang harus memilih pensiun dini ketiga menjadi Anggota KTKI.
Hal ini berarti Kemensesneg patut diduga melanggar unsur kepatutan. Dengan pertimbangan azas kepatutan, maka patut diduga, Kemensesneg telah mengabaikan adanya pertimbangan azas kapatutan pada tiga orang unsur pemerintah ini.
Termasuk pertimbangan, bahwa kedua orang anggota unsur pemerintah, harus mengajukan pensiun dini mengingat masa usia kerjanya sebagai PNS hanya tinggal 2-3 tahun lagi.
Sehingga mau tidak mau harus memilih pensiun dini, bukan proses pemberhentian sementara dari PNS. Mengacu Pasal 41 Peraturan BKN Nomor 3/2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian PNS.
Dugaan lainnya, kata Agus Budi Prasetyo Komisioner KTKI Perjuangan adalah dugaan elanggaran Azas Akuntabilitas dan Kepatutan.
Penetapan Ariyanti Anaya dari Unsur Pemerintah yang telah tertulis di dalam Kepres 69/M/2024 mengingat yang bersangkutan telah purna per 1 Oktober 2024”. Pun, penetapan Arianti Anaya sebagai Ketua yang tidak lazim telah tertulis di dalam Kepres Lembaga Non Struktural (LNS), mengingat prinsip LNS adalah Independen dan Kolektif Kolegial.
“Sebagai perbandingan Kepres 31/M 2022 untuk KTKI, diktum ketiga mencerminkan azaz kolektif kolegial, berbeda dengan Kepres 69/M/2024 sudah tertulis siapa yang menjabat Ketua dan Wakil Ketua”, jelas Ismail Komisioner KTKI asal Sulawesi Selatan pada tempat terpisah.
Rachma Komisioner KTKI yang juga Dosen Ilmu Administrasi UI menegaskan harapannya agar KTKI Perjuangan berharap Ombudsman dengan wewenang yang dimilikinya mengacu UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan saran kepada Presiden atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan public.
“Jangan sampai ini menjadi preseden buruk ke depan tentang proses keluarnya Kepres LNS yang tidak mengacu pada prinsip good governance,” pungkas Rachma.
Rachma juga berharap Ombusman menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Daerah agar dibuat SOP tentang keluarnya Kepres LNS dalam rangka mencegah Maladministrasi. (*)